Seperti bau terasi yang digoreng. Aromanya menyusup hingga celah terkecil sudut rumah. Itulah nasib slentingan itu sekarang. Slentingan kalau bapakku menggelapkan uang kas masjid. Tentu saja aku tak percaya. Aku tahu betul siapa bapakku.
Sorot mata ibu-ibu itu membuatku tak nyaman. Walau hanya sekadar membeli cabai rawit di warung. Terlebih lagi jika mereka mulai menyindirku. Sungguh rasanya darah ini memanas, hingga ubun-ubun tersengat.
“Motor baru rupanya,” celetuk Mak Ratmi ketika aku menstater motor matikku.
“Pantas saja,” timpal Ridah.
“Besok apa lagi, nih yang baru,” Mbok Wari tak mau kalah.
Tak kupedulikan mulut ular mereka. Cepat-cepat aku memacu gas motorku. Benar saja ibu melarangku mengendarai motor kalau hanya ke warung. Tapi, toh waktu tak bisa mundur. Semua sudah tak mungkin diulur. Aku telanjur sakit hati. Dan ini semua salahku. Padahal jalan kaki tak akan membuat mati. Mengapa memilih melaju dengan matik?
Jumat, 27 Mei 2011
fried
Ada sesuatu yang tidak biasa ketika Bu Baiti, wali kelas 8.2 SMPN 11 Palembang, masuk ke kelas pagi itu. Dia berhenti di depan kelas. Berdeham sejenak.
“Kalian kedatangan kawan baru,” ujarnya pada siswa-siswanya.
Dengan langkah yang amat pelan, masuklah seorang anak perempuan bertubuh gemuk dan mungil, bermata besar, dengan rambut keriwil dikucir dua tinggi-tinggi di kiri kanan disertai poni, memakai behel dan berbibir tebal alias dower. Sontak hampir seisi kelas tertawa melihat penampilannya, dan beberapa mencibir. Anak perempuan yang “unik” itu hanya tersenyam-senyum. Lugu sekali.
“Anak-anak, diam! Tidak sopan menertawakan penampilan orang,” tegur Bu Baiti. Tawa mulai mereda.Tapi sama sekali tak menghalangi berbagai pembelaaan diri.
foods
Senja ini Niken sengaja tak buru-buru menghampiri bis di ujung jalur terminal. Sekedar menghilangkan pegal di pergelangan kaki. Ia berdiri dan bersandar pada jeruji besi biru pembatas. Dia mengamati hiruk-pikuk orang yang baru pulang kerja dan riuh rendahnya pengamen-pengamen cilik berdebat sambil berebut recehan yang bergemerincing dalam plastik kumal bekas permen.
Ia menghela napas panjang. Pertengkarannya dengan Damar tadi membuat Niken masih merasa kesal. Damar bilang Niken pelit. Padahal mereka bersahabat sejak SMP dan Niken gak pernah merasa pelit padanya.
“Bukan pelit sama aku, kamu tuh pelit kalo ada pengemis atau pengamen yang minta recehan.” Ujar Damar.
Langganan:
Postingan (Atom)