Jumat, 27 Mei 2011

foods





Senja ini Niken sengaja tak buru-buru menghampiri bis di ujung jalur terminal. Sekedar menghilangkan pegal di pergelangan kaki. Ia berdiri dan bersandar pada jeruji besi biru pembatas. Dia mengamati hiruk-pikuk orang yang baru pulang kerja dan riuh rendahnya pengamen-pengamen cilik berdebat sambil berebut recehan yang bergemerincing dalam plastik kumal bekas permen.
Ia menghela napas panjang. Pertengkarannya dengan Damar tadi membuat Niken masih merasa kesal. Damar bilang Niken pelit. Padahal mereka bersahabat sejak SMP dan Niken gak pernah merasa pelit padanya.
“Bukan pelit sama aku, kamu tuh pelit kalo ada pengemis atau pengamen yang minta recehan.” Ujar Damar.
“Trus apa hubungannya sama kamu Mar? mereka juga gak komplain kan?” Niken melotot
“Ya,  aku gak suka aja punya temen pelit kayak kamu!” Damar melengos.
“Ih, kok kamu yang sewot yee.” Niken meleletkan lidah.
“Percuma dong aku berbusa-busa jelasin ke kamu kalau sedekah itu penting!”
 “Iya tauuuu..berapa kali sih kamu ngomong gitu ke aku. Bosen!” Niken manyun lagi.
“Kamu itu sahabatku Ken, aku gak suka sahabatku pelit.”
Damar itu Primus, alias Pria Mushola. Maksudnya Damar tuh aktif ikut Rohis di sekolah, dia sering ngasi ‘wejangan’ ke teman-teman soal bersedekah. Walaupun masih berstatus pelajar SMU dan masih nebeng duit ortu, paling tidak uang jajan bisa disisihkan untuk fakir miskin.
            Uang di kantong polo shirt pinknya masih ada empat belas ribu lima ratus rupiah. Ongkos metromini cuma dua ribu. Sisanya nanti akan dimasukkan ke celengan sapi di rumah. Niken senyum-senyum sendiri.
“Nanti kalau sudah penuh aku akan beli laptop idaman” Ujarnya dalam hati.
            Seorang pengamen kecil berbaju merah lusuh dan bertelanjang kaki menghampiri. Menadahkan tangannya. Niken bergidik.
“Ih pasti bau banget ni anak. Gak pernah mandi apalagi keramas” Ia berkata dalam hati. Digelengkannya kepala. Anak itu masih ulet menadahkan tangan.
“Seribu saja kak, buat tambah-tambah setoran.”
“Niken tetap menggeleng. Terbayang lagi ekspresi Damar “Niken pelit!”. Uugh..Niken jadi makin sebal.
            Diliriknya lagi saku baju. Terpaksalah dia meraih kepingan uang lima ratus perak dan menyodorkan ke tangan pengamen tadi. Meski tak terlihat senang, gadis kecil itu tetap mengucap terima kasih dan berlari kecil ke arah tangga terminal dan menghilang di balik keramaian.

***

“Apa alasan kamu gak mau kasih uang ke pengemis atau pengamen?” Damar satu kali pernah menginterogasi Niken.
“Bukannya gak mau…” Niken berusaha membela diri.
“Trus apa? cuma pelit?”
Lagi-lagi Niken merengut. “Aku udah gak percaya sama mereka.” Ia menjawab perlahan.
“Gak percaya gimana?” Damar akhirnya melunak.
Mungkin kasian juga ngeliat Niken diinterogasi terus - terusan.
“Mereka kan gak benar-benar miskin Mar. Mereka minta-minta itu disuruh sama orang yang mengkoordinir mereka. Kalau aku kasih uang buat mereka. Uang itu masuk ke kantong orang jahat. Sama aja aku kasih makan orang jahat dan bikin mereka semakin malas bekerja.” Damar mengangguk-angguk. Kata-kata Niken tidak seratus persen salah.
“Apalagi di Jakarta gini Mar, orang berbuat apa saja dan menghalalkan segala cara kan buat dapetin uang.” 
 “Tapi gak semuanya Ken.” Damar menghela napas.
“Iya aku tau. Tapi gimana kamu tau mana pengemis yang benar-benar miskin sama pengemis yang pura-pura miskin?”
Damar menggelengkan kepala. Mungkin dia sambil berpikir bagaimana harus mematahkan argumen Niken yang agak-agak ngotot itu.
“Tapi tetap saja aku gak mau kamu jadi orang pelit.”
Niken mengangguk sambil tersenyum. Sebelum beranjak, Damar nyeplos “Ken, kamu ingat kisah di zaman Rosul. Malaikat kerapkali menyamar menjadi pengemis dan peminta-minta untuk menguji kadar keimanan dan kedermawanan manusia. Mungkin bukan cuma di zaman Rosul aja, sekarang pun bisa jadi begitu”.  Niken tertegun.
            “Ya, Damar benar. Mungkin aku terlalu pelit. Bagaimana jika ternyata salah satu dari pengemis atau pengamen yang aku tolak ternyata adalah malaikat yang menyamar? Itu berarti bisa saja malaikat marah dan tidak menyampaikan doaku pada Tuhan?” Niken berpikir amat lama.
***

Niken menggoyangkan celengan sapinya di kamar. Hampir penuh. Ia menabung sejak enam bulan yang lalu. Targetnya terntu saja buat beli laptop idaman dengan OS terbaru, dilengkapi Wifi dan memorinya besar. Biar hobi nulisnya tersalurkan dengan baik dan gak perlu pinjem laptop Papa lagi kan.
“Cuma kurang sedikit lagi” Niken menggumam.
            “Kalau kamu mau beli laptop, ya menabung dong Ken.” Papa menasihatinya saat Niken merajuk minta dibeliin laptop. Papa dan Mama adalah orang tua yang tidak mau begitu saja menuruti kemauan anak-anaknya tanpa usaha keras. Niken dan kakak-kakaknya sudah terbiasa menabung sejak kecil. Apalagi kalau mereka lagi pengen sesuatu, ya nabungnya juga harus lebih rajin.
            Pengorbanan dapetin laptop lumayan berat banget buat Niken. Dia harus merelakan jatah jajannya berkurang, gak bisa jajan nasi goreng, pecel ayam dan bakso lagi di kantin. Cukup beli cemilan dan bawa bekal dari rumah yang disiapkan mama. Untuk yang satu itu, Niken harus menahan malu, dicengin sama Vera temen sebangkunya. Dibilang kayak anak SD lah, sok higienis lah. Niken juga harus menahan nafsu jalan-jalannya ke mal bareng temen segengnya. Gak bisa beli t-shirt keluaran terbaru atau tas lucu limited edition. Demi laptop.
           Pulang sekolah, Damar sudah menunggu Niken di meja piket sekolah.
“Gak bisa pulang bareng ya hari ini, ada kunjungan ke Rumah Singgah di daerah Cawang.” Damar tidak lagi menawarkan Niken untuk ikut gabung karena tiap kali Damar nawarin selalu ditolak. Alasan Niken, panas lah, kumuh lah, bau lah. Damar kapok.
“Kok gak nanyain aku ikut apa enggak?” pertanyaan Niken bikin Damar melongo.
“Lah kan biasanya kamu gak mau ikut kalo diajakin?”
            “Sekarang mau kok! Sama siapa aja?”. Niken tertawa.
 Damar menyebutkan satu-persatu nama teman-teman yang mau ikut ke sana.
            Sebenarnya Niken amat kagum dengan Damar. Jarang banget ada remaja dengan jiwa sosial yang tinggi. Niken selalu godain Damar dengan sebutan Aktivis Ganteng. Jelas aja Damar suka kegeeran dibilang ganteng.
            Beberapa bulan ini, Damar dan teman-temannya dimintai tolong sebuah LSM dari Solo yang ingin membuat sebuah rumah singgah dengan berbagai macam program untuk membantu anak jalanan. Anak jalanan yang dijadikan target sasaran gak main-main loh. Selain pengamen dan pengemis, Damar melakukan pendekatan gencar juga ke kelompok-kelompok anak punk yang ada di Jakarta.
            “Kenapa juga anak punk sih? Kan serem Mar.”
Niken protes waktu Damar menjelaskan kegiatannya dulu. Lihat aja dandanannya yang aneh-aneh, rambut yang digunting gaya mohawk atau feathercut, warna-warni pula, celana jeans ketat dan lusuh, jaket kulit, sepatu boot, rantai dan spike”.
“Hiii…” Niken bergidik ngeri. Dia suka gemetar kalo di bis atau di angkot nemuin anak-anak punk yang ngamen gak jelas. Lagunya apa, suaranya kemana-mana. Udah gitu minta duitnya maksa. Duh, gak banget deh. 
            Dengan bijak Damar menjelaskan. “Mereka gak seburuk yang kamu pikirkan Ken. Mereka itu banyak yang kreatif loh, hanya saja tidak tahu ke mana harus menyalurkan kreativitasnya. Gak semua anak punk juga terlibat kriminalitas.”
            “Tapi kan sulit Mar, mengubah pola pikir mereka yang antisosial dan antikemapanan.” Niken masih ragu. Damar tertawa terbahak-bahak.
            “Kalo gak sulit, ya namanya gampang!”
            “Mereka itu sebenernya anak-anak yang mandiri, liat aja motonya ‘we can do it ourselves’ artinya mandiri kan? cuman ya biasalah masing-masing mengartikan sesuatu itu kan beda-beda.
 “Sok bijak loe Mar!”.

***
             
Rumah Singgah ini terlihat lumayan bersih. Jauh dari bayangan Niken selama ini. Memang tidak terlalu luas. Dindingnya sudah permanen hanya lantainya saja yang belum berkeramik. Tembok warna hijau lumut itu dihiasi aneka poster dan lukisan-lukisan hasil karya anak-anak jalanan dan pengemis. Susunannya agak berantakan tetapi terkesan ‘nyeni’. Niken suka itu.
Hari ini hanya sekitar lima anak jalanan yang singgah. Dua di antara mereka anak punkers yang baru selesai ngamen dan numpang beristirahat. “Mario” remaja lelaki berbalut kaos hitam gambar tengkorak itu mengulurkan tangan ke Niken. Niken menyambutnya ragu, “Niken”. Ekspresi Mario cuek bebek. Rambutnya yang model feathercut di cat warna merah dan pirang. Hmm..sebenarnya kalau gak kumal, Mario lumayan manis juga. Niken berpikir dalam hati, “Jangan-jangan Mario adalah anak orang kaya yang kabur dari rumahnya”. Rekan Mario bernama Meldi. Dia terlihat amat lelah, cuma duduk saja di pojokan menghitung recehan sambil memainkan rantai di kantung celana jeansnya.
Damar bercerita, Mario dan Meldi tadinya gak mau mampir ke rumah singgah. Gak butuh, katanya. Tapi lama-kelamaan dengan pendekatan yang baik, Damar bisa mengajak mereka berdua mampir sesekali ke rumah singgah. Meski mereka hanya mau bersosialisasi dengan orang-orang tertentu saja.
“Mereka berdua pandai menyanyi dan bermain biola. Aku aja sampai kagum loh dibuatnya. Mungkin dulu sebelum hidup di jalanan mereka dari keluarga yang cukup berada. Masih sepupuan juga loh mereka.” Damar menceritakan panjang lebar, Niken manggut-manggut saja.
“Mereka ngamen ada yang koordinir gak?” Niken menyelidik.
“Gak. Mereka hidup berkelompok. Hasil yang didapat  dibagi rame-rame. Katanya ‘mangan ra mangan ngumpul’, Damar tertawa dan Niken pun mengangguk
“Baru tau kan gak semua pengemis atau pengamen dikoordinir?”
“Jadi, masih mau pelit?” Damar menggodanya. Niken merengut.
“Tak kenal maka tak sayang, jadi jangan pelit-pelit lagi ya Ken.” Damar tergelak.
“Yee..gak ada hubungannya kali.”

***
Tapi, percaya gak percaya, setelah kunjungannya ke rumah singgah bersama Damar beberapa waktu lalu, Niken mulai mengurangi kadar pelitnya. Meski dia masih pilih-pilih kalau memberi uang ke pengamen atau pengemis. Kalau yang ngamen suaranya lumayan, Niken akan kasih seribu rupiah, tetapi kalo suaranya fals, Niken cuma kasih lima ratus saja. Begitu juga dengan pengemis, kalau masih muda dan gagah, Niken gak mau kasih. Tapi kalau anak kecil atau kakek-kakek, Niken kasih lima ratus atau seribu.
Niken seringkali membayangkan, salah satu di antara mereka yang ia beri uang adalah Malaikat dan ia berharap malaikat tidak akan marah dan menyampaikan doa Niken pada Tuhan. Meski Damar masih suka mengkritiknya, “ Itu namanya gak ikhlas, Ken.”
“Biarin. Aku kan ingin doaku dikabulkan. Aku ingin Mama sembuh dari kanker rahimnya dan aku kesampaian beli laptop.
Minggu pagi, Niken membuka gembok celengan sapinya. Kalau nanti sudah dihitung, Niken akan menukarkan recehannya ke minimarket depan rumah dan langsung meluncur ke Mangga Dua. Niken sebel karena Papa gak mau nganterin dengan alasan capek. Padahal kan kalo dianter Papa lebih aman dan lebih adem juga karena mobil Papa AC-nya baru diservis. Tapi Damar janji mau nemenin dan mereka akan bertemu di Terminal Blok M.
“Ciyeh, yang mau beli laptop!”
“Ih norak, berisik!” Niken sebel. Kakinya melangkah ke warung rokok untuk membeli air mineral botol. Cuaca siang ini amat panas. Wah, bisa-bisa dehidrasi kalo gak minum nih.
Belum selesai Niken membayar, seorang anak berlari dan menyerobot tas Niken yang berada di atas box minuman warung rokok.
“Copet! Copet!” Niken berteriak spontan. Damar segera berlari mengejar copet tadi. Niken bergetar, air matanya mulai menetes. Duh kalau copet tadi gak bisa ketangkep, bisa-bisa dia batal beli laptop. Hasil jerih payahnya menabung lenyap sudah.
Kaki kurusnya berlari kecil ke arah ujung terminal, ada kerumunan di sana. Mudah-mudahan copetnya tertangkap, harap Niken. Kerumunan sedikit terkuak, muncullah Mario dan Damar. Di tangan Mario tergenggam tas kecil Niken. Damar melangkah tertatih di samping Mario. Matanya lebam dan lengannya berdarah. Niken memekik.
“Tidak apa-apa hanya tergores sedikit saja.” Mario menenangkan Niken.
“Kenapa bisa begini?” Niken ikut memapah Damar.
             “Tadi ayah si pencopet gak terima kalau Damar mengejar anaknya. Damar dikeroyok dua orang. Kebetulan tadi aku lihat Damar. Jadi aku bales pukul aja orang-orang itu, meski sedikit terlambat karena pisau sudah menyerempet lengannya”. Lagi-lagi Mario yang menjelaskan
“Nih tas kamu, lain kali hati-hati!” Niken mengucapkan terima kasih dan langsung mendekap tasnya. Petugas terminal membantu mengoleskan obat antiseptik ke lengan Damar dan menutupnya dengan plester.
“Masih mau aku antar beli laptop?” Damar menatap Niken lembut. Tubuh Niken masih setengah gemetar.
“Gak jadi Mar. Kita pulang aja.”
“Mario, ini…” Niken mengulurkan selembar uang ratusan ribu rupiah tanda terima kasih telah menyelamatkan Damar dan tasnya. Mario menggeleng.
“Ken, andaikan aku malaikat yang kamu cari, apa permintaanmu?”
“Aku..aku...gak minta apa-apa. Aku cuma mau bilang terima kasih telah menjagaku dan Damar.” Niken memandang Mario tanpa berkedip. Tak tahu harus berkata apa.
            Mario menjabat tangan Damar dan Niken. Tubuhnya kemudian menghilang di keramaian terminal.

Jakarta, Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar