Jumat, 27 Mei 2011
fried
Ada sesuatu yang tidak biasa ketika Bu Baiti, wali kelas 8.2 SMPN 11 Palembang, masuk ke kelas pagi itu. Dia berhenti di depan kelas. Berdeham sejenak.
“Kalian kedatangan kawan baru,” ujarnya pada siswa-siswanya.
Dengan langkah yang amat pelan, masuklah seorang anak perempuan bertubuh gemuk dan mungil, bermata besar, dengan rambut keriwil dikucir dua tinggi-tinggi di kiri kanan disertai poni, memakai behel dan berbibir tebal alias dower. Sontak hampir seisi kelas tertawa melihat penampilannya, dan beberapa mencibir. Anak perempuan yang “unik” itu hanya tersenyam-senyum. Lugu sekali.
“Anak-anak, diam! Tidak sopan menertawakan penampilan orang,” tegur Bu Baiti. Tawa mulai mereda.Tapi sama sekali tak menghalangi berbagai pembelaaan diri.
“Habis culun, Bu. Kayak badut mini,” sahut Ivi lalu terkekeh geli.“Anak sirkus mana, Bu?” timpal Bobby, mengejek.
“Bibirnya itu loh, Bu, seksi banget!” sambung Meri, sambil meliuk-liukkan tangannya membentuk gitar Spanyol. Tawa menggema lagi.
“Sudah, sudah! Masa kalian gak mau kenalan sama dia? Ayo, Nak, perkenalkan dirimu,” sela Bu Baiti sedikit meredakan situasi.
Sunyi. Mereka menunggu makhluk lucu itu bicara.
“Halo teman-teman,” suaranya yang cempreng melengking mirip pelawak Mpok Nori membuat beberapa terkikik.
“Perkenalkan, nama saya DOWER”
Tawa langsung pecah lagi. Lebih heboh. Beberapa diantaranya bahkan sampai sakit perut. Nama itu persis sekali menggambarkan kondisi fisik anak itu.
“Ya ampun... Nama kok Dower! Tega banget orang tuanya ngasih nama itu,” ejek Ikbal.
“Kan pas dengan bibirnya,” sambung Dina, membuat suara tawa makin riuh.
“Sudah! Cukup! Siapa yang tertawa atau mengejek lagi, Ibu hukum membersihkan kelas sepulang sekolah.” ancam Bu Baiti. Berhasil. Tawa seketika mereda.
“Dower, boleh Ibu tahu, nama itu nama panggilan atau nama asli kamu?” tanya Bu Baiti, penasaran.
”Nama asli, Bu,” jawabnya polos.
Suara terkikik yang tak bisa ditahan pun terdengar.
“Tapi kata Ayah saya, ada sejarahnya yang harus saya kenang hingga saya mati.”
“Paling-paling waktu ibunya hamil dia, bibir Ayahnya disengat lebah hingga dower kayak gitu. Jadinya, pas dia lahir dikasih nama Dower, deh,” sela Adi, anak paling nakal di kelas.
“Betul, betul, betul,” timpal Jaka, sobatnya, mengikuti gaya Upin Ipin. Tawa kembali membahana. Bu Baiti berdeham marah sebelum akhirnya berkata lagi.
”Oke, Dower, kalau begitu, bisakah kamu menceritakan sejarah namamu itu?”
Anak perempuan itu mengangguki permintaan Bu Baiti. Dia lalu menarik nafas panjang, mengumpulkan kembali ingatannya tentang cerita sang ayah, sebelum akhirnya menceritakannya kembali pada teman-teman barunya.
***
14 tahun yang lalu
“Luk, Luki, istrimu mau melahirkan. Cepat kau panggil bidan!”
Luki yang baru tersadar dari tidur siangnya di atas kursi rotan itu, kaget luar biasa. Ia langsung tertegak, tegang.
“Apa? Melahirkan? Kenapa tak dibawa ke rumah sakit saja, Mak?”t anyanya pada mertuanya itu.
“Terlalu jauh. Ibu takut malah akan melahirkan di jalan.A yo cepatlah, kau tahu kan tempatnya?”
Guru bahasa Inggris itu mendengar rintihan istrinya dari dalam kamar,lantas mengangguk cemas.
Hari mulai gerimis saat Luki keluar dari rumah dengan motor bebeknya, menelusuri sebuah jalan tanah lurus yang terhubung ke jalan raya sekitar 3 kilometer. Sebenarnya dia pendatang baru di komplek perumahan itu. Ia baru saja pindah mengajar bahasa Inggris di SMPN 51 Palembang yang letaknya sekitar dua kilometer dari komplek perumahannya. Dan beberapa minggu yang lalu, Luki sudah mengecek bahwa ada tiga bidan di daerah itu, masing-masing di tiga komplek perumahan yang berbeda: komplek Griya Handayani, BTN dan Mega Asri II. Ia akan menuju rumah bidan terdekat di komplek perumahannya itu, Griya Handayani.
Lima menit kemudian, ia sampai. Bidan Rita langsung keluar ketika Luki mengetuk rumahnya dengan cemas.
“Bu, istri saya mau melahirkan! Tolong cepat ikut saya!” katanya.
Belum sempat wanita itu menjawab, seorang laki-laki remaja berlari menghambur ke arah mereka dengan wajah pucat.
“Bu, Aran Bu, Aran…,” kata anak itu dengan suara tercekat.
“Ada apa dengan anak saya?” tanya Bu Rita,panik.
“Dia, dia memaksa ikut kami mandi di rawa, dan dia, dia… tak bisa berenang. Dia tenggelam!”
Bu Rita kontan menjerit histeris, memanggil nama anaknya dan tak lama kemudian sekelompok laki-laki datang terburu-buru sambil menggotong sebuah tandu yang di atasnya tergeletak mayat Aran yang basah kuyup dan telah kaku.
Seketika para tetangga berdatangan. Baru saja orang-orang membawa masuk mayat itu, Bu Rita pingsan. Ibu-ibu riuh menggendong Bu Rita masuk ke rumahnya.
Luki berdiri di sana dengan tubuh gemetar. Mulutnya tercekat. Buru-buru ia sadar dan mengingat istrinya yang sedang kesakitan, menunggu bidan di rumah. Ia pacu motornya menuju rumah bidan lain yang berada di komplek BTN, yang berjarak satu kilometer dari sana, hampir mendekati jalan raya.
Gerimis mulai menderas saat ia memarkirkan motornya di teras rumah bidan Wati. Bu Wati muncul di depan pintu sambil membawa sebuah tas besar sebelum ia sempat mengetuk pintu rumah itu.
“Bu, istri saya mau melahirkan.Tolong cepat ikut saya, Bu!” pintanya.
“Maaf pak, saya mau pindah ke Padang. Bus travelnya akan berangkat setengah jam lagi.
Maaf saya tak bisa membantu,” ujar Bu Wati disusul dengan suara klakson dari mobil kijang di sampingnya yang pintu belakangnya terbuka berisi banyak koper bertengger di dalamnya. Semangat Luki menciut. Mereka tengah terburu-buru.
Dengan tubuh lunglai, ia menuju motornya.Ia pun teringat seorang bidan muda di komplek perumahan Mega Asri II yang terletak 1 kilometer dari sana.
Tanpa pikir panjang, ia lajukan motornya menuju komplek perumahan itu. Beberapa menit kemudian, ia sampai disana, tercegat di depan lorong masuk menuju rumah bidan itu. Ada sebuah tenda cukup besar dengan puluhan orang yang sedang duduk rapi di bawahnya, menghalangi. Rupanya itu pesta pernikahan.
Ia pakirkan motornya. Lantas berjalan pelan melewati kursi-kursi tamu. Dilihatnya rumah sang bidan dipenuhi banyak orang. Dan saat ia melirik pasangan yang tengah bersanding di pelaminan, ia melihat bidan muda itu! Ia tak mengetahui bahwa sang bidan menikah hari itu.
Tubuh Luki goyah. Untung ia segera berpegangan pada sebuah kursi. Bagaimana ini, bagaimana? pikirnya panik. Apakah ia harus kembali ke rumah dan membawa istrinya bermotor—tak ada mobil tetangga yang bisa dipinjam—menembus hujan yang kini menderas, menuju rumah sakit bersalin terdekat yang berada di kilometer sepuluh sementara ia berada di kilometer 15? Ataukah, ia harus mencari bidan lain? Ya, bidan lain.
Matanya nanar memandang sekeliling. Tak ada bidan lagi di daerah itu, seingatnya. Ya Tuhan, hatinya tercabik. Ini anak pertamanya dan ia ingin anak dan ibunya selamat.
Tiba-tiba ia mendengar sayup-sayup, seseorang menyebut-nyebut nama bidan di tengah riuhnya suara para tamu dan pembawa acara di acara pernikahan itu. Ia menoleh ke sekeliling. Dan mendapati di sebuah jalan kecil di sebelah kirinya, seorang wanita berseragam putih layaknya seorang perawat sambil menggandeng sebuah tas kerja, sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki di sebuah teras rumah.
Secepat kilat ia berlari ke arah bidan itu dan mencengkeram tangannya.
“Bu bidan, istri saya mau melahirkan. Ayo cepat, ikut saya! Cepat!” katanya tanpa bisa mengontrol emosinya, yang senang, sedih, kecewa bercampur cemas.
“Eh, pak, tunggu! Bidan itu belum mengobati anak saya.,s ela laki-laki yang mengobrol dengan bidan itu. Tapi, Luki tak mau tahu.I a takut tak mendapat bidan lagi. Diseretnya bidan itu dengan tergesa. Hujan yang deras menerpa tubuh mereka.
“Eh, pak,sabar pak, sabar,” kata si bidan ketika mereka tiba di samping motor Luki. Luki menggeleng dengan kesal.
“Kesabaran saya sudah habis, Bu. Sudah tiga bidan saya jumpai di tiga tempat tapi mereka semuanya tak bisa membantu saya. Satunya kena musibahlah, satunya mau pindahlah, satunya nikah. Sementara di rumah ,istri saya menunggu kesakitan. Mau dibawa ke rumah sakit nggak ada mobil, hujan deras lagi. Saya khawatir sekali, apalagi ini anak pertama saya,” ujar Luki dengan berapi-api.
Bidan itu tersenyum, ”Ada pelajaran yang bisa dipetik dari berbagai kejadian, Pak. Sekarang mari kita ke rumah Bapak. Kasihan istri Bapak.”
Sesampainya di rumah, dia langsung menyeruak masuk ke kamar. Di sana, mertuanya dan dua ibu-ibu tetangga tengah mengerumuni istrinya yang sedang merintih kesakitan. Sang mertua menggerutui Luki yang terlalu lamban datang. Tapi Luki tak membalas. Pikirannya sedang kalut. Ia keluar dan sang bidan menutup pintu.
Selama kurang lebih satu jam, suara sang istri yang meraung kesakitan menyerang telinganya. Luki mondar-mandir di depan kamar. Beberapa tetangga yang datang memintanya untuk sabar. Teringat ia akan kata-kata sang bidan. Ia lantas berpikir pelajaran apa yang bisa ia ambil dari kematian, perpindahan, pernikahan dan…
“Ouuwekkk… ouwek… ouwek…,” suara tangis bayi terdengar nyaring memenuhi rumah itu. Luki menghela nafas lega.
“Kelahiran,” gumamnya menyambung pemikirannya yang tadi.
Setengah jam kemudian, Luki diperbolehkan untuk menengok anak dan istrinya di dalam kamar. Digendongnya bayi perempuan yang tengah tertidur itu dengan perasaan bahagia. Ditatapnya wajahnya yang manis itu dan matanya yang besar mirip milik ibunya dan bibirnya yang tebal mirip bibirnya.
“Mas sudah menyiapkan nama untuk anak perempuan, kan?” tanya istrinya.
Luki memandang istrinya sejenak, berpikir.
“Sebelum mas berhasil membawa bidan itu ke sini, mas menemui banyak kejadian: kematian, perpindahan, pernikahan dan kelahiran. Death, move, wedding and birth. Bila disingkat, maka jadilah…,” Ia mereka-mereka dalam hati, “Dower, ya namanya Dower,” lanjutnya kemudian.
“Dower?” istrinya tersenyum geli. ”Apa nama itu tidak akan membuatnya malu karena ini menyangkut penampilan fisiknya?”
Luki menghela nafas. ”Untuk apa dia malu, Heni? Malah seharusnya dia bangga. Bibir dower ini sudah menjadi ciri khas keluarga Mas dari generasi ke generasi. Nama Dower akan selalu mengingatkannya akan setiap peristiwa yang terjadi sebelum kelahirannya. Dengan nama Dower, Mas berharap dia akan menjadi manusia yang bisa lebih menghargai hidup.”
***
Hening.
Cerita Dower sudah berakhir lima menit yang lalu.T ak ada lagi yang mengejek bahkan tertawa. Mereka seolah hanyut dalam ceritanya.
“Dower, kalau ibu boleh tahu, bagaimana nama Dower bisa membuatmu menghargai hidup ini?” tanya Bu Ita, penasaran.
Dower tersenyum manis. Sekilas tampak dewasa dibanding teman-temannya.
“Setahun yang lalu, sebelum Ayah meninggal, ia bercerita padaku, makna nama dower itu. Death, Move, Wedding dan Birth. Kata Death berarti kematian. Janganlah sombong karena semua yang hidup pasti akan mati dan tak seorang pun di dunia ini yang tahu waktu kematiannya. Kata Move berarti pindah. Dimanapun kaki berpijak nanti, berteman baiklah dengan orang-orang yang tinggal di tempat itu, sehingga bila suatu saat pindah, maka kesan baiklah yang akan ditinggalkan di sana. Kata Wedding berarti pernikahan. Bila memilih pasangan nanti, pilihlah ia bukan karena fisik, harta, atau kepintarannya semata. Tapi pilihlah pasangan yang bisa menambah kecintaan kepada Sang Khalik. Kata Birth, kelahiran. Syukurilah dan sayangilah bayi yang lahir ke dunia bagaimanapun keadaan fisik atau latar belakangnya. Karena kelahiran adalah anugerah.”
Dower terdiam sejenak. Dipandanginya teman-temannya dengan ramah.
“Selamanya, aku akan mengingat pesan Ayah. Aku bersyukur dengan fisikku dan nama unik yang Ayah berikan. Karena aku tahu Ayah memberikan yang terbaik buatku. Dan aku berjanji takkan mengecewakannya di alam sana.”
Sayup-sayup terdengar isakan di sudut kelas. Bu Baiti yang juga ikut meneteskan air mata bertepuk tangan dengan keras, disusul oleh siswa-siswanya. Mereka berdiri memberi penghargaan kepada Dower.
“Anak-anak,” Kata Bu Ita, setelah tepuk tangan mereda.” Apa yang Dower sampaikan harus menjadi renungan bagi kita semua. Setidaknya mulai dari sekarang, kalian, ibu dan kita semua belajar untuk tidak menilai seseorang dari luarnya saja. Karena siapa tahu , ternyata ada hal luar biasa yang tersimpan dalam tubuh itu.”
Para siswa hanyut dalam pikiran mereka masing-masing. Lalu senyum-senyum ramah satu per satu menghiasi bibir mereka.
“Dower, bibirmu emang keren!” teriak Adi.
“Yeah! I love you full!” timpal sobatnya, Jaka.
Seisi kelas ngakak mendengar celotehan itu. Dower tersenyum senang melihatnya.
Sebenarnya ada sebuah cerita yang tidak ia utarakan. Selama bertahun-tahun ia tidak bisa menerima nama itu, bahkan selalu menangis karena diejek kawan-kawannya. Tapi setahun yang lalu, saat sang Ayah menganggapnya sudah cukup mengerti, maka ia pun menceritakan makna nama itu padanya. Mereka hanya berdua saja waktu itu, bersepeda di komplek perumahan mereka. Dan sehari sesudahnya, sang Ayah meninggal karena kecelakaan. Bila ingat hal itu, ia merasa berdosa karena selalu menyalahkan Ayahnya yang menurutnya tak baik memberikan nama.
“Ya Allah ,terimalah arwahnya di sisi-Mu. Amin.”
Doanya dalam hati sebelum duduk di bangku kelasnya yang baru.
***
Palembang, Januari-Juni 2010
*Ketika kita “menerima” diri kita apa adanya, yang lain pun akan menerima kita.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar