Seperti bau terasi yang digoreng. Aromanya menyusup hingga celah terkecil sudut rumah. Itulah nasib slentingan itu sekarang. Slentingan kalau bapakku menggelapkan uang kas masjid. Tentu saja aku tak percaya. Aku tahu betul siapa bapakku.
Sorot mata ibu-ibu itu membuatku tak nyaman. Walau hanya sekadar membeli cabai rawit di warung. Terlebih lagi jika mereka mulai menyindirku. Sungguh rasanya darah ini memanas, hingga ubun-ubun tersengat.
“Motor baru rupanya,” celetuk Mak Ratmi ketika aku menstater motor matikku.
“Pantas saja,” timpal Ridah.
“Besok apa lagi, nih yang baru,” Mbok Wari tak mau kalah.
Tak kupedulikan mulut ular mereka. Cepat-cepat aku memacu gas motorku. Benar saja ibu melarangku mengendarai motor kalau hanya ke warung. Tapi, toh waktu tak bisa mundur. Semua sudah tak mungkin diulur. Aku telanjur sakit hati. Dan ini semua salahku. Padahal jalan kaki tak akan membuat mati. Mengapa memilih melaju dengan matik?
Susah payah menabung dari hasil kerjaku sebagai asdos, matik putih itu kubeli. Itu pun kredit. Sekarang dengan entengnya mereka menuduh kalau matikku ini dibeli dengan uang kas masjid. Ingin rasanya kulumatkan saja mulut mereka yang tak beretika. Berkicau begitu saja tanpa peduli perasaan.
Seorang anak koruptor. Itulah sikap tubuh mereka padaku. Seperti sudah terlabel di mukaku, mereka mengucilkanku. Bukan hanya aku, tapi juga ibuku. Seringkali kulihat mata ibu sembab. Pasti hati ibu juga telah terlukai karena mulut ular mereka. Ibu memang tak setegar diriku. Dia begitu lemah dan rapuh. Tak berani membalas kata pedas mereka. Ibu tak memilih menyulut api. Ibu lebih memilih terbakar di dalamnya.
“Kalau ibu terus begini. Kita akan semakin terhina, Bu. Padahal kita tahu Bapak tak mungkin melakukan itu!” tuturku menaikkan nada suaraku satu oktaf.
Ibu tak bereaksi. Dia hanya menatapku dengan mata berembun. Lantas mengusap sisa air mata di pipinya. Jika sudah seperti ini, tatapan matanya akan melemahkanku. Juga membuatku ragu. Kali ini, akukah yang salah menilai bapak?
Seolah mengerti dengan gemuruh dalam dadaku. Pelan ibu menepuk pundakku. “Ibu juga sudah mengatakan pada Bapakmu untuk menuruti kemauan mereka.”
Aku diam. Menekuri ujung jari-jari kakiku. Aku memang pernah dengar cerita itu dari ibu. Bapak sebagai bendahara kas masjid menolak untuk merenovasi masjid. Alasannya sederhana, masjid sudah lebih dari layak. Jamaah masih bisa beribadah dengan nyaman. Lantaran itu mereka menuduh bapak menggelapkan uang masjid.
Kali ini jalan pikiran bapakku memang tak bisa aku mengerti. Apa toh, susahnya menuruti kemauan mereka. Aku pun yakin, uang itu masih tersimpan di bank. Tidak diselewengkan oleh bapak.
Sudah hampir magrib bapak belum juga pulang. Padahal ingin sekali aku memberondongnya dengan pertanyaan. Rasanya aku dan ibu sudah cukup lelah dengan tuduhan itu. Mungkin bapakku masih kokoh. Bersikap cuek seolah mereka tak bermulut beo. Bersikap biasa saja meskipun berjuta kali mereka menyindirnya.
Rasa penasaran mengusikku untuk menyelinap ke kamar bapak. Aku ingin melihat buku tabungan kas masjid. Aku tahu, buku itu tersimpan di laci bawah lemari baju bapakku. Aku ingin memastikan saldonya masih utuh.
Pelan sekali aku menarik ganggang laci. Tapi masih saja berderit. Belum lagi kecoa yang tiba-tiba melintas di depan kakiku. Hampir saja membuatku menjerit, tapi itu tak mengurungkan niatku. Sayangnya sebelum aku menemukan buku tabungan itu, ibu memergokiku.
“Apa yang kau cari di lemari Bapakmu?” ibu mulai memburuku. Aku gagap. Untuk meringis saja susah.
“Sstttt…pelankan suaramu, Bu,” balasku seraya menempelkan jari telunjuk ke bibirku.
Ibu hanya mengedikkan bahu. Lantas matanya berkedip-kedip menatapku.
“Aku hanya ingin melihat buku tabungan itu.”
Lantas ibu cepat-cepat menarikku ke luar dari kamar. Kulihat dada ibu naik turun. Mungkin tak mengira dengan apa yang kulakukan barusan. Memang sikapku seolah aku tidak memercayai bapak.
“Kamu sudah dua puluh dua tahun. Selama itu, apa pernah Bapakmu berbuat kotor seperti itu?”
“Tentu saja tidak, Bu. Tapi aku…,” tak kulanjutkan kalimatku. Aku tahu jika kulanjutkan apa konsekuensinya. Aku tak ingin mereka menang. Senang melihat kami bertengkar lantaran kabar burung.
Tak lama setelah itu, bapak pulang dengan wajah berseri. Tidak sedikit pun terlihat kalau dia tengah menjadi pusat pergosipan di desa ini. Kulihat tangan kanannya membawa kantong kresek. Setelah memberi salam, bapak meletakkan kresek itu di atas meja makan. Menyandarkan tubuhnya di kursi.
“Sebenarnya apa maksud Bapak menolak usulan mereka? Apa benar Bapak telah memakai uang itu?” cecarku.
“Tentu saja tidak,” jawab bapak singkat. Lalu beranjak dari duduknya. Meninggalkanku dalam tanya yang belum terpuaskan.
Kalau memang uang itu masih ada. Mengapa pula Bapak tidak segera mengiyakan usulan mereka. mengganti kubah masjid dengan yang baru dan membeli AC. Kurasa jika itu terlaksana, masjid di desaku akan mendapat rekor dari MURI sebagai satu-satunya masjid termewah di desa. Sepertinya itulah obsesi para penyumbang dana besar. Desaku adalah desa industri. Wajar, jika banyak bos tinggal di sini.
Sedang bapakku hanya pegawai negeri di kantor pemerintahan. Uang yang disumbangkan bapak untuk pembangunan masjid tak seberapa jika dibandingkan dengan pemberian para pemilik modal. Sudah lima tahun bapak menjadi bendahara kas masjid. Mulai dari pembangunan masjid semua lanjar saja. Bapak menyetujui usul mereka, namun saat ini bapak dengan tegas menolak usulan mereka. Tidak perlu, kata Bapak.
***
Minggu yang layu. Matahari muncul malu-malu. Sisa-sisa hujan semalam masih membayang. Dingin menggertakan gigi. Jemari pun menggigil. Aku dan bapak berjalan kaki. Menuju pasar desa. Di tengah perjalanan bapak bertanya padaku.
“Kau masih ingat Mbah Karsi? Itu rumahnya,” tutur bapak seraya menunjuk rumah yang hanya sepetak itu.
Tentu saja aku tak lupa dengan Mbah Karsi. Dulu ketika aku masih SD dia berjualan gulali sulam. Gulali dengan tepung putih yang disulam hingga menjadi lembar-lembar halus. Kini setelah aku dewasa pun Mbah Karsi masih berjualan. Dia tak mengantungkan hidup dengan mengadahkan kaleng bekas di jalanan.
“Apa dia sakit, Pak?”
“Sudah sehari dia tidak jualan. Kemarin Bapak ke rumahnya. Ternyata dia kehabisan modal.”
Tak heran kalau Mbah Karsi kehabisan modal. Seringkali jika ada anak yang tidak punya uang saku, Mbah akan memberikan gulalinya dengan cuma-cuma. Kalau terus-terusan seperti itu, bagaimana usahanya akan bertahan?
Mbah sebatangkara. Kedua anaknya ke Jakarta dan tak pernah kembali, sedangkan suaminya telah lama meninggal. Rumah sepetak itu satu-satunya miliknya. Pastilah hujan barat semalam, melumpuhkan sendi-sendinya karena dingin menembus dinding rumahnya yang hanya anyaman bambu.
Pasar sudah ramai ketika kami tiba. Bapak langsung menarikku ke Mba Roah. Dia satu-satunya penjual rujak teplak di pasar ini. Sudah turun temurun dari neneknya. Keahliannya hanya membuat rujak teplak. Sayuran hijau yang dicocol dengan sambal yang dibuat dari cabai, singkong, dan bumbu lainnya yang dihaluskan. Paling pas dimakan dengan kerupuk pasir. Makanan kesukaan bapak.
Melihat kami, Mba Roah langsung sumringah. Pastilah dia tahu kalau bapak akan memborong rujaknya. Minah duduk di samping Mba Roah. Tangannya begitu cekatan mengelap daun untuk membungkus rujak. Minah hanya tamatan SD. Bapaknya meninggal ketika dia baru enam tahun.
Di tengah perjalanan setelah membeli rujak. Ada saja mulut beo yang membuat ubun-ubun mendidih. Seperti tidak ada kesibukan lain, mereka hanya bisa menyindir.
“Tumben jalan kaki Rin? Motor barumu mana?”
“Denger-denger Pak Kasan mau beli mobil baru, nih? Sudah banyak uang rupanya.”
“Jangn sok suci deh Pak. Jujur saja, Bapak apakan uang itu?”
Banyak sekali tanda tanya yang menyakitkan. Aku tahu, bapak sebenarnya menahan amarah. Bapak juga manusia biasanya. Hatinya bukan besi. Perasaannya bukan baja.
Aku mempercepat langkah kakiku. Begitu pun bapak. Dalam hati aku juga marah sama bapak. Padahal penyelesaian masalah ini cukup mudah. Bapak tinggal menyerahkan uang kas masjid. Mempercantik masjid sesuai permintaan mereka. Dan selesai. Aku tak perlu menundukkan muka merahku yang penuh bara.
“Kenapa sih, Pak? Lakukan saja permintaan mereka?” aku meledak begitu tiba di rumah.
“Kamu tadi lihat sendiri? Masih banyak di antara kita yang kekurangan. Perlukah melakukan itu semua?” jawab bapak dengan nada tinggi.
Sepertinya bapak marah padaku. Sejujurnya slentingan itu, juga karena aku yang ngotot membeli motor baru. Padahal aku tahu slentingan kalau ayah menggelapkan kas masjid mulai merebak. Ketika aku memutuskan untuk mengkredit motor matik baru.
***
Senin sore yang tegang. Air muka bapak berubah-ubah. Kadang gelisah, kadang tenang. Entah apa yang tersembunyi di balik hatinya. Mungkin kemarahan yang tak terluapkan. Mungikin sedih yang tak diungkapkan. Mungkin saja kekesalan yang tak bisa disampaikan. Lantas bapak menghembuskan napas dan mengalihkan pandangannya padaku dan ibu.
“Kurasa mulai minggu ini kalian akan sibuk,” kata bapak enteng.
Aku dan ibu saling bergantian memandang. Tak paham dengan ucapan bapak.
“Ibu kau periksalah siapa saja yang butuh suntikan modal usaha selain Mbah Karsi, juga rumah yang masih berdinding bambu. Dan kau Rani, bantulah Minah mencari SMP,” kata bapak mantap dengan raut bahagia.
Kembali aku dan ibu saling pandang. Lantas kami mengurai senyum. bapak berhasil meyakinkan mereka.
Dan aku mulai membayangkan Mbah Karsi akan terus menyulam gulali. Dia akan merasa hangat setelah rumahnya berdinding semen. Mba Roah pasti akan tersenyum lebar melihat Minah berseragam putih biru. Kuharap setelah ini, semua bisa hidup nyaman. Tanpa rasa takut rumah akan roboh karena hujan barat.
Kawan, coba kau tenggok masjid desa kami. Ada di ujung desa. Berdiri gagah dengan satu kubah besar. Berdinding marmer, berlantai keramik, beralas karpet mahal dari Arab. Langit-langit tinggi dengan kipas angin besar yang menggantung di delapan penjuru. Tempat wudu yang bersih dengan air lancar mengalir. Hujan lebat pun, jamaah tak akan terkena tetesan air. Lantas pantaskah kata merenovasi dipakai saat ini? Dan membiarkan mereka dalam kekurangan dan ketidakberdayaan?
Tegal, 3 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar