Seperti bau terasi yang digoreng. Aromanya menyusup hingga celah terkecil sudut rumah. Itulah nasib slentingan itu sekarang. Slentingan kalau bapakku menggelapkan uang kas masjid. Tentu saja aku tak percaya. Aku tahu betul siapa bapakku.
Sorot mata ibu-ibu itu membuatku tak nyaman. Walau hanya sekadar membeli cabai rawit di warung. Terlebih lagi jika mereka mulai menyindirku. Sungguh rasanya darah ini memanas, hingga ubun-ubun tersengat.
“Motor baru rupanya,” celetuk Mak Ratmi ketika aku menstater motor matikku.
“Pantas saja,” timpal Ridah.
“Besok apa lagi, nih yang baru,” Mbok Wari tak mau kalah.
Tak kupedulikan mulut ular mereka. Cepat-cepat aku memacu gas motorku. Benar saja ibu melarangku mengendarai motor kalau hanya ke warung. Tapi, toh waktu tak bisa mundur. Semua sudah tak mungkin diulur. Aku telanjur sakit hati. Dan ini semua salahku. Padahal jalan kaki tak akan membuat mati. Mengapa memilih melaju dengan matik?